DETIK - DETIK TERAKHIR NABI MUHAMMAD MENJELANG AJALNYA 
             Kisah
 ini menunjukkan keagungan Manusia pilihan, kekasih Allah "Habiballah" 
dan kekasih kita ummatnya, krn itu kita mendidih dan marah ketika Rasul 
yang mulia ini dihina dan direndahkan oleh mereka yg tdk punya hati 
nurani baik melalui Film Innocence of Muslim, maupun lewat Kartun di 
Francis.... kita wajib mengutuk mereka dan pelakunya halal darahnya dan 
harus di adili dengan hukuman mati.....
Ada sebuah kisah tentang cinta yang sebenar-benar cinta yang dicontohkan
 Allah melalui kehidupan Rasul-Nya.
               Pagi itu, walaupun langit telah 
mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.
Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbatas memberikan kutbah;
“Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya.
 Maka taati dan bertaqwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua perkara pada 
kalian, Al Qur’an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, bererti
 mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk syurga
 bersama-sama aku.”
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang 
tenang dan penuh minat menatap sahabatnya satu persatu. 
          Abu Bakar 
menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan 
nafas dan tangisnya. Usman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan 
kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. 
“Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” keluh hati semua sahabat kala
 itu. Manusia tercinta itu, hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia.
Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan cergas 
menangkap Rasulullah yang berkeadaan lemah dan goyah ketika turun dari 
mimbar. Di saat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir di sana 
pasti akan menahan detik-detik berlalu. Matahari kian tinggi, tapi pintu
 rumah Rasulullah masih tertutup. 
           Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang 
terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah 
kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan 
salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak 
mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah 
yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata 
dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah 
ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah 
lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang 
menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu 
hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang 
memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah. 
Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. 
           Malaikat maut datang menghampiri,
 tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. 
Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas 
langit dunia menyambut roh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah 
dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para 
malaikat telah menanti rohmu. Semua syurga terbuka lebar menanti 
kedatanganmu,” kata Jibril.
Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh 
kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar khabar ini?” Tanya Jibril 
lagi. “Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan 
khuatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman 
kepadaku: ‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad 
telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. 
              Perlahan roh 
Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, 
urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.” 
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya 
menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau 
melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada 
Malaikat Penghantar Wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih 
Allah direnggut ajal,” kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, kerana sakit yang tidak 
tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat rasa maut ini, timpakan saja semua 
siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai 
dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar 
seakan-akan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan 
telinganya, “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku” – 
“Peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling 
berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali 
mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan, 
“Ummatii, ummatii, ummatiii” – “Umatku, umatku, umatku…” Dan, 
berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.
Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma solli ‘ala Muhammad 
wa baarik wa salim ‘alaihi… Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar